Di sini Anda bebas membaca, bertanya, berkomentar, dan berdiskusi. Pintu "ruang kantor" ini terbuka bagi siapa pun, baik jika Anda seorang CEO, Manager, staf, atau seorang office boy. Karena di "ruang kantor" ini, siapapun Anda, Anda adalah ASET yang paling berharga.

So, let's enjoy the journey, great people!

Alex Denni

Wednesday 20 June 2012

Storytelling

Berikut ini adalah sebuah cerita yang terjadi hampir empat dasawarsa lalu. Pada awal 1970-an, seorang pejabat Pertamina menerima tamu asing. Tamu itu menginap di sebuah hotel di Jakarta. Sang tamu tidak tahu bahwa air dari keran di kamar mandi hotel tidak dapat diminum langsung, meski hotel yang ditempatinya adalah hotel kelas atas.

Suatu ketika, sang tamu meminumnya. Keesokan harinya dia kerepotan harus berkali-kali ke toilet. Ternyata, dia terkena diare. Dokter pun dipanggil untuk mengatasi. Setelah diusut oleh dokter, ketahuanlah bahwa penyebabnya adalah air kamar mandi hotel yang diminum langsung.

Bagi si pejabat Pertamina, tentu sakit perutnya sang tamu adalah peristiwa yang memalukan. Soalnya, air keran di negeri sang tamu bisa langsung diminum. Baik itu air keran di rumah, di sekolah, di kantor, maupun di hotel, semuanya bisa diminum langsung tanpa harus dimasak.

Setelah sang tamu sehat, urusannya selesai, dan kembali ke negerinya, pejabat itu mendapat ilham. Agar para tamu asing terbebas dari masalah air minum, jawabannya adalah ada air minum yang tersedia kapan saja tanpa harus memasak. Dengan ide itu, ia pun mulai mengembangkan sebuah rencana bisnis memproduksi air yang siap diminum kapan pun dibutuhkan. Pada 1973/74, produk ini belum bisa diterima masyarakat. Bagi banyak orang, ide itu terasa aneh. Air minum biasa, tanpa rasa, kok dijual?

Akan tetapi, lambat laun pasar mulai menerima. Kini, perusahaan yang dikembangkan si pejabat tadi berkembang pesat dengan produksi tahunan 3,5 miliar liter. Hari ini, kisah tentang si pejabat tadi, yang bernama Tirto Utomo, dan produknya, Aqua, sudah menjadi cerita klasik. Baik disampaikan secara tertulis maupun lisan, kisah itu akan sama menariknya.

Tirto Utomo dan Aqua hanyalah satu dari sekian banyak kisah orang Indonesia yang menarik dan bagus jika diceritakan ulang. Kini, kita ambil kisah dari luar. Pernahkah Anda mendengar pengalaman Steven Denning? Dia bekerja di Bank Dunia. Denning meniti karier di sana hingga suatu saat menduduki posisi Program Director. Suatu ketika, pada akhir 1995, ia melakukan presentasi untuk kalangan internal Bank Dunia. Presentasinya didasarkan atas hasil penelitian dan dibuat dalam powerpoint slides yang sungguh bagus. Akan tetapi, presentasi itu ternyata tidak membuat audiens tertarik. Segera, ia merasa kesulitan untuk meyakinkan audiens. Jalan buntu. Presentasinya yang disiapkan secara matang tidak membawa pengaruh.

Akhirnya, Denning menggunakan cara lain. Ia memulai dengan cerita kecil. Audiens ternyata menunjukkan ketertarikan. Ia pun melanjutkan dengan cerita lain, yaitu cerita tentang Zambia. “Beberapa bulan lalu, seorang pekerja kesehatan di sebuah desa di Zambia masuk ke situs internet milik Pusat Pengendalian Penyakit di Atlanta, Georgia, AS, dan memperoleh jawaban tentang bagaimana menangani penyakit malaria.” Denning melanjutkan, “Harap diingat, kejadian ini adalah pada Juni 1995, bukan Juni 2015. Juga bukan di ibu kota Zambia, melainkan di sebuah desa yang jaraknya 600 kilometer dari ibu kota. Juga, Zambia adalah negara miskin. Namun, sadarkah Anda bagian penting dari cerita ini bagi kita di Bank Dunia? Bank Dunia ternyata tidak ada dalam gambar ini!”

Audiens pun tertawa. Lanjut Denning, ”Kita tidak mengorganisir know-how kita sedemikian rupa, sehingga mampu berbagi informasi berharga di antara para pembuat keputusan yang menangani kemiskinan. Bayangkan seandainya kita bisa melakukannya. Bayangkan seandainya organisasi kita dapat mengorganisir pengetahuan yang dimilikinya, seperti apa organisasi kita?”

Beberapa waktu setelah kejadian itu, Denning melihat para manajer mulai berhubungan satu sama lain. Bahkan, para manajer pun berhubungan langsung dengan presiden Bank Dunia. Lalu, pada 1 Oktober 1996, di hadapan 170 menteri keuangan yang hadir dalam acara pertemuan tahunan Bank Dunia, presiden Bank Dunia, Jim Wolfensohn, berkata, We were going to be a knowledge sharing organization, from top to bottom. We are going to become the knowledge bank.”

Menyadari kekuatan penceritaan (storytelling), Denning mencoba menggunakan cerita-cerita untuk maksud lain. Dari upayanya itu, ia pun menemukan bahwa selain menghibur dan menyampaikan informasi, cerita dapat memelihara budaya, membangun hubungan dan kolaborasi, dan bahkan dapat membuat organisasi berubah. Ia pun belajar memahami bahwa cerita dapat menanamkan nilai-nilai, berbagi pengetahuan, menjinakkan rumor, dan menceritakan masa depan atau visi.

Pengalaman Denning mengantarkannya untuk menulis buku pada 2001, yang berjudul The Springboard: How Storytelling Ignites Action in Knowledge-era Organizations. Setelah itu, ia juga menulis beberapa buku, termasuk salah satunya bersama John Seely Brown, Katalina Groh, dan Larry Prusak dengan judul Storytelling in Organizations.

Ahli storytelling lainnya, Annette Simmons, punya pendapat yang berharga untuk disimak: “Hal yang orang-orang inginkan adalah faith (keyakinan) pada Anda, sasaran Anda, keberhasilan Anda, dalam cerita yang Anda tuturkan. Keyakinan itulah, bukannya fakta, yang mampu menggeser gunung.”

Kini, penceritaan menjadi salah satu alat dalam kehidupan organisasi kita. Penceritaan adalah produk otak kanan, sementara kehidupan manajerial-analitis adalah produk otak kiri. Oleh karena itu, penceritaan melengkapi cara kita menangani organisasi.

Cerita menjadi menarik karena para eksekutif menuturkan cerita dari hatinya. Audiens dapat menangkap percikan-percikan itu dengan perasaan dan pikiran mereka. Mereka dapat “melihat” sang penutur yang sedang melalui sebuah proses (sebagaimana tertangkap dari cerita yang dituturkan). Melalui cerita, audiens diajak menjalani sebuah proses, melihat lika-liku sebuah prosedur, dan diberi tantangan. Mereka antusias menantikan saatnya mengetahui bagaimana caranya mengatasi tantangan itu.

Bukan cuma para eksekutif saja yang diuntungkan dengan penuturan cerita, para manajer juga diuntungkan. Bahkan, para staf pun dapat memperoleh manfaat dengan teknik storytelling. Berapa pun usia kita, cerita tetap menarik.