Di sini Anda bebas membaca, bertanya, berkomentar, dan berdiskusi. Pintu "ruang kantor" ini terbuka bagi siapa pun, baik jika Anda seorang CEO, Manager, staf, atau seorang office boy. Karena di "ruang kantor" ini, siapapun Anda, Anda adalah ASET yang paling berharga.

So, let's enjoy the journey, great people!

Alex Denni

Monday 3 September 2012

Upah Minimum: Sudah Adilkah?

Foto diunduh dari sini.
Keputusan pemerintah yang hanya menambah empat komponen dalam penghitungan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL), menuai ketidakpuasan dari kalangan pekerja. Hal ini berakibat para buruh menuntut agar upah mereka lebih layak, sehingga beberapa waktu lalu sempat terjadi demo buruh besar di DKI Jakarta dan sejumlah provinsi lainnya di Indonesia, untuk menolak upah murah bagi para buruh.

Permasalahan ini timbul karena adanya kebutuhan hidup minimum, yang oleh para buruh seringkali dirasakan tidak terpenuhi oleh penetapan upah minimum tersebut. Jika terpenuhi pun, sebagai manusia, tidak mungkin tujuan jangka panjangnya hanya untuk sanggup memenuhi kebutuhan hidup minimum saat ini saja.

Undang-undang tentang penetapan upah minimum sebetulnya adalah solusi jangka pendek, apalagi untuk negara yang sedang bergerak dari negara miskin menjadi negara berkembang. Dalam Human Capital, kita bicara fairness. Seharusnya bukan upah minimum yang diatur, melainkan rasio-rasio minimum untuk tiap industri.

Jika yang diatur adalah upah minimum—dalam konteks adil, maka seharusnya pengusaha pun menuntut adanya kontribusi atau kinerja minimum dari karyawan. Karena secara teknis, jika kinerja minimum dari karyawan tidak tercapai, bagaimana mungkin perusahaan mampu membayar upah minimum? Jadi tanpa adanya tuntutan kinerja minimum, sebetulnya karyawan sedang tidak adil kepada pengusaha.

Oleh karena itu, yang jauh lebih sustainable dan adil untuk semua pihak adalah jika kita berbicara rasio. Misalnya, rasio pembayaran kompensasi dibandingkan dengan revenue total perusahaan. Sehingga kalau revenue perusahaan naik, maka seharusnya total kompensasi yang dibagikan kepada karyawan pun akan naik dengan sendirinya.

Jika misalnya ditentukan rasio kompensasi terhadap revenue sebesar 30%-40% di industri perbankan, berarti upah minimum di industri perbankan adalah sebesar 30% dari revenue.  Jadi, tidak boleh ada bank yang membayar total kompensasi kepada karyawan di bawah rasio tersebut, namun juga tidak boleh membayar di atas rasio tersebut, karena berarti akan merugikan investor atau shareholder. Begitu juga di industri-industri lain, yang jika ternyata rasionya berbeda dengan industri perbankan, ditentukan rasio kompensasi minimum dan maksimum yang berbeda pula untuk masing-masing industri tersebut.

Jadi pada akhirnya, tidak ada lagi perusahaan di dalam industri yang makmur, namun merasa tidak perlu menaikkan upah karyawannya karena sudah merasa memenuhi peraturan upah minimum. Sebaliknya juga, jika ada perusahaan yang tidak dapat memenuhi ketentuan upah rasio minimum selama tiga tahun berturut-turut, dapat dikatakan perusahaan tersebut telah mengeksploitasi karyawannya. Dengan demikian, industri-industri akan dipaksa untuk semakin efektif, semakin men-generate topline, sehingga mereka akan mampu membayar upah sesuai dengan rasio.

Yang terjadi sekarang ini, ada perusahaan yang mengaku tidak mampu membayar upah minimum, namun ternyata upah Direksinya mencapai ratusan juta rupiah. Seharusnya dilihat rasio di industri tersebut, berapa persen rasio kompensasi untuk Eksekutif? Berapa persen untuk Manajemen? Berapa persen untuk karyawan? Itu semua dapat ditetapkan dalam ukuran yang disebut Human Capital Index.

Penetapan upah minimum hanya menjawab kebutuhan para karyawan di level terendah. Sedangkan mayoritas karyawan adalah di level menengah (middle). Melalui Human Capital Index kita bisa mengetahui, dari total expense, berapa persen untuk total kompensasi karyawan, serta distribusinya hingga ke seluruh level. Dengan begitu, dalam jangka panjang industri bisa semakin sehat. Buruh pun akan sejahtera karena mereka tahu, jika mereka bekerja keras, perusahaan akan memperoleh revenue yang besar, sehingga para buruh juga yang akan menerima manfaat dari hasil kinerja tersebut. Bukan hanya akan mendapat upah minimum seperti yang terjadi sekarang, sementara margin terbesar diperoleh pemegang saham.

Selain itu, jika kompensasi minimum dan maksimum ditetapkan berdasarkan rasio, saya optimis bahwa persaingan antar perusahaan untuk memperoleh tenaga kerja pun akan semakin sehat. Peristiwa “pembajakan” karyawan dengan iming-iming kenaikan upah yang ekstrim hingga dua atau tiga kali lipat dapat diminimalkan, sehingga perusahaan akan semakin berlomba dan fokus untuk meningkatkan engagement para karyawannya.

Sistem Human Capital memungkinkan terwujudnya keadilan bagi shareholder, manajemen, dan karyawan. Jika perusahaan sukses, seharusnya semua orang dapat menikmati kesuksesan pula. Sebaliknya, jika perusahaan menderita, sudah sewajarnya pula jika semua orang juga mengetahui kondisi tersebut. Itulah sebenarnya keadilan yang hakiki.***

Monday 30 July 2012

Gaji ke-13: Benefit atau Bonus?

Foto diunduh dari sini.
Beberapa waktu yang lalu, media massa sempat dipenuhi dengan pemberitaan mengenai gaji ke-13 yang diberikan Pemerintah kepada para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia. Sempat ada beberapa pihak yang beropini, bahwa gaji ke-13 tersebut seharusnya tidak diberikan secara merata jumlahnya kepada seluruh PNS, namun harus berdasarkan hasil kinerja dari masing-masing PNS. Namun ada pula pihak yang berpendapat, gaji ke-13 merupakan benefit yang wajib diberikan Pemerintah, yang cara perhitungannya sama untuk setiap PNS.

Jika dilihat dari sejarahnya, gaji ke-13 pertama kali dicetuskan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri sebagai salah satu bagian dari upaya pemerintah untuk  mensejahterakan abdi negara dan  meringankan beban  kebutuhan hidup mereka. Sejak itu gaji ke-13 terus diadakan, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2010, yaitu sebagai subsidi atau tunjangan untuk meningkatkan kesejahteraan Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan.

Hal tersebut juga diberlakukan di tahun ini. Melalui Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2012, dinyatakan Pemerintah berkewajiban  meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri, pejabat negara, dan penerima pensiun sebagai wujud apresiasi pemerintah terhadap prestasi dan pengabdian mereka terhadap bangsa dan negara. PP tersebut disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2012 tanggal 28 Mei 2012, tentang Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun Anggaran 2012 Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun/Tunjangan.

Menurut saya, sepertinya masih kurang tepat jika gaji ke-13 dikategorikan sebagai tunjangan untuk meningkatkan kesejahteraan PNS. Karena untuk meningkatkan kesejahteraan, tidak cukup jika hanya dilakukan satu tahun sekali. Tidak ada orang yang diberikan gaji ke-13, lalu kebutuhan hidupnya akan pasti terpenuhi dan sejahtera sepanjang tahun. Gaji ke-13 hanya akan menjaga daya beli pegawai pada saat beban puncak terjadi, misalnya saat lebaran di mana harga-harga naik dan pengeluaran bertambah. Kalau gaji ke-13 tujuannya meningkatkan kesejahteraan pegawai, sepertinya agak terlalu berlebihan. Tapi jika gaji ke-13 tujuannya membantu meringankan beban pegawai pada saat beban puncak terjadi, misalnya hari raya, maka tujuannya tercapai.

Jika tujuan pemerintah adalah menyejahterakan PNS, maka tidak dapat dilakukan hanya satu tahun sekali. Kesejahteraan adalah sesuatu yang berkelanjutan. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui peningkatan pada gaji pokok dan tunjangan rutin setiap bulan, atau peningkatan upah minimum. Peningkatan gaji pokok dan tunjangan pun tidak hanya didasari inflasi, namun juga didasari peningkatan nilai aset dari pegawai tersebut. Misalnya peningkatan pendidikan, pengalaman, atau kompetensi yang dimiliki masing-masing pegawai.

Pada PP No. 57 Tahun 2012 tersebut tidak begitu jelas disebutkan, gaji ke-13 tersebut diberikan berdasarkan prestasi atau pengabdian PNS, seperti yang tercantum pada PP No. 54 Tahun 2012. Jika didasari pengabdian terhadap negara, maka sah jika cara perhitungannya sama untuk seluruh PNS, yaitu masuk ke kategori benefit. Namun jika didasari prestasi, maka seharusnya besaran gaji ke-13 tersebut berbeda antara satu PNS dengan PNS lainnya, berdasarkan kinerja atau prestasi masing-masing, sehingga hal tersebut masuk ke kategori insentif atau bonus.

Jika gaji ke-13 itu didasari perhitungan prestasi, maka seharusnya dapat menjadi instrumen yang powerful untuk mendorong kinerja pegawai. Pegawai yang kinerjanya superior tentunya akan mendapat hasil yang signifikan, berbeda dengan pegawai yang kinerjanya biasa-biasa saja. Namun jika tidak didasari prestasi, maka gaji ke-13 hanya menjadi benefit. Tidak peduli how poor atau how great kinerja pegawai tersebut.

Mengenai besar atau kecilnya biaya yang dikeluarkan institusi pemerintah untuk gaji ke-13 tersebut, tidak ada masalah. Kecuali sebelumnya tidak dianggarkan atau meleset dari yang sudah dianggarkan sebelumnya.***

Thursday 26 July 2012

Transformasi Human Capital: Cara Pandang Baru untuk Proses Inovasi


Foto diunduh dari sini.

Kebutuhan pelanggan terus berubah dari waktu ke waktu, oleh karena itu organisasi juga dituntut untuk mampu merespon perubahan-perubahan tersebut. Jika organisasi tidak memiliki kemampuan berinovasi seperti yang diharapkan, maka hal tersebut dapat menjadi masalah besar.

Tidak jarang, inovasi yang dilakukan menuntut adanya perubahan pada manajemen agar lebih adaptif, terutama dalam hal membangun pengelolaan human capital sebagai komponen terpenting yang menjadi modal organisasi. Bagaimana human capital dapat mendukung proses inovasi dalam organisasi?

Era Informasi dan Pengetahuan

Disadari atau tidak, saat ini kita sudah memasuki era baru, yaitu era informasi dan pengetahuan. Perbedaan menonjol antara era ini dengan era-era sebelumnya adalah pada faktor penentu produktivitas, yang tidak lagi ditentukan oleh otot atau mesin, namun oleh pengetahuan. Pengetahuan inilah yang menjadi modal utama dan berpengaruh besar dalam menentukan kemajuan individu, kelompok dan organisasi.

Perbedaan mendasar dari era informasi dan pengetahuan dengan era sebelumnya adalah pada cara pandang organisasi terhadap peran manusia. Di era sebelumnya, deskripsi pekerjaan atau job description membatasi kapabilitas manusia untuk memberikan kontribusi unik mereka masing-masing. Para pimpinan juga cenderung melihat manusia hanya sebagai karyawan atau bawahan, sehingga motivasi tidak tumbuh dari dalam manusia itu sendiri. Sedangkan di era informasi dan pengetahuan, manusia termotivasi untuk bekerja secara suka rela, karena mereka dianggap sebagai rekan dan mitra.

Perbedaan juga terdapat pada pola pikir, di mana  di era sebelumnya manusia harus selalu dikontrol oleh atasan, sehingga proses inovasi tidak terjadi dari tingkat bawah. Berbeda dengan manusia era pengetahuan dimana mereka diperlakukan sebagai knowledge worker, mereka memiliki kebebasan terarah untuk berpikir. Dan kebebasan inilah yang mendorong kreativitas dan inovasi.

Kebutuhan Alamiah Manusia

Untuk mendapatkan kinerja atau hasil terbaik dari seorang individu, kita harus dapat memenuhi empat kebutuhan mendasar mereka, yaitu body (tubuh), mind (pikiran), heart (hati/perasaan), dan spirit (jiwa) seperti diutarakan Dr. Stephen R. Covey di bukunya The 8th Habit, From Effectiveness to Greatness.

Empat kebutuhan dasar tersebut dapat dipenuhi dengan komponen penting dari human capital, yaitu modal kesehatan, modal intelektual, modal emosional, modal sosial, dan modal moral. Kebutuhan-kebutuhan inilah yang membentuk manusia seutuhnya. Jika kita dapat memenuhi empat kebutuhan dasar tersebut, maka manusia akan bisa bekerja dengan sepenuh hati, dan dengan suka rela akan menghasilkan kinerja terbaik mereka.

Human Capital Mendorong Proses Inovasi

Inovasi atau innovation berasal dari kata “to innovate”, yang mempunyai arti membuat perubahan atau memperkenalkan sesuatu yang baru. Proses inovasi adalah proses memperkenalkan ide baru, barang baru, pelayanan baru dan cara-cara baru yang lebih bermanfaat. Meskipun demikian, inovasi juga dapat diartikan seperti yang dikatakan oleh manajemen Singapore Airlines, “Innovation is not just thinking about new ideas, but looking at old ideas and thinking how to make them better.”

Pengelolaan human capital yang efektif dapat mendorong proses inovasi karena kunci inovasi terletak pada manusia. Organisasi dapat memilih dan menarik orang-orang terbaik, mendapatkan orang yang tepat untuk posisi yang tepat, memastikan orang-orang untuk dapat terus tumbuh dan berkembang, serta mampu mengakui dan menghargai kinerja yang sangat baik dari individu.

Proses inovasi juga dapat berjalan mulus dengan terbentuknya habitat yang mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk manusia dapat belajar. Pemimpin yang great serta budaya organisasi yang kondusif mampu menumbuhkan habitat tersebut. Melalui Human Capital Management System, organisasi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk dapat berfikir dan mencari cara terbaik, agar individu tersebut dapat mengaktualisasikan kemampuan yang dimilikinya dan mengotimalkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi. Tak heran bila kemudian karyawan menjadi engaged terhadap organisasi.  Bila hal ini terjadi, organisasi akan mampu bertahan bahkan tetap unggul di tengah situasi yang terus berubah. ***